Suku Nias
adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.
Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha"
(Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö
Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam
lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum
disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari
kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik
dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang
masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta :
Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta
yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini
seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
B. Asal Usul
1. Mitologi
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos
asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut
"Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama
"Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan
kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang
memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena
memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang
pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
2. Penelitian Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di
Pulau Nias sejak tahun 1999 [1], [2].
Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000
tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa
paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof.
Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta.
Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di
Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia
di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian genetika terbaru menemukan,
masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek
moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina
4.000-5.000 tahun lalu [3], [4].
Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari
Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical Center
Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman,
Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar 10
tahun ini [5],
[6]
Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau
Nias.
”Dari semua populasi yang kami teliti,
kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat mirip dengan masyarakat Taiwan
dan Filipina,” katanya.
Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-laki.
Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX.
Mitokondria-DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu.
Penelitian ini juga menemukan, dalam
genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno
yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian
arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang
menempati goa tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu.
”Keragaman genetika masyarakat Nias sangat
rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat lain, khususnya dari kromosom-Y.
Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck (kemacetan) populasi dalam
sejarah masa lalu Nias,” katanya.
Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias
tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di Kepulauan Andaman-Nikobar di
Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga.
Jejak terputus
Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional Sony Wibisono mengatakan, teori tentang asal usul masyarakat Nusantara
dari Taiwan sebenarnya sudah lama disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood
(2000). Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan bentuk gerabah.
”Masalahnya, apakah migrasi itu bersifat searah dari Taiwan ke
Nusantara, termasuk ke Nias, atau sebaliknya juga terjadi?” katanya. Sony mempertanyakan
bagaimana migrasi Austronesia dari Taiwan ke Nias itu terjadi.
Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Lembaga Eijkman yang juga menjadi
pembicara, mengatakan, migrasi Austronesia ke Nusantara masih menjadi
teka-teki. ”Logikanya, dari Filipina mereka ke Kalimantan dan Sulawesi. Tetapi,
sampai saat ini data genetika dari Kalimantan dan Sulawesi masih minim. Masih
ada missing link,” katanya.
Di Kalimantan, menurut Hera, yang diteliti genetikanya baru etnis
Banjar. Hasilnya menunjukkan, mereka masyarakat Melayu. Di Sulawesi yang
diteliti baru Sulawesi Selatan. ”Masih banyak studi yang harus dilakukan,”
katanya.
C. Marga Nias
Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti
garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari
kampung-kampung pemukiman yang ada.
Daftar Marga Nias
A
|
Amazihönö. Amuata
|
B
|
Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö,
Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawa'ulu, Bidaya,
Bazikho, Baewa
|
C
|
-
|
D
|
Dachi, Daeli, Daya, Dohare, Dohöna, Duha, Duho,
Dohude, Dawölö
|
E
|
-
|
F
|
Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu
|
G
|
Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö,
Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Gaidö
|
H
|
Halawa, Hala Wawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö,
Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao,Halu
|
I
|
-
|
J
|
-
|
K
|
-
|
L
|
Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö,
Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira,
Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndu go'o, Lugu
|
M
|
Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa,
Maruabaya, Möhö, Marunduri, Mölö
|
N
|
Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya,
|
O
|
Ote,
|
P
|
-
|
Q
|
-
|
R
|
-
|
S
|
Sadawa, Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi,
Saota
|
T
|
Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira
|
U
|
|
V
|
|
W
|
Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe
|
X
|
-
|
Y
|
-
|
Z
|
Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili,
Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö,
Zamago zamauze[1]
|
D. Budaya Nias
1. Makanan Khas
a. Bae
- Bae
b. Gowi
Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
c.
Harinake (daging babi cincang
dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
d.
Godo-godo (ubi / singkong yang
diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan
kelapa yang sudah di parut)
e.
Köfö-köfö(daging ikan yang
dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
f.
Ni'owuru (daging babi yang sengaja
diasinkan agar bisa bertahan lama)
g.
Ratigae (pisang goreng)
h.
Tamböyö (ketupat)
i.
löma (beras ketan yang dimasak
dengan menggunakan buku bambu)
j.
Gae nibogö (pisang bakar)
k.
Kazimone (terbuat dari sagu)
l.
Wawayasö (nasi pulut)
m.
Gulo-Gulo Farö (manisan dari
hasil sulingan santan kelapa)
n.
Bato (daging kepiting yang
dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan
Hinako)
o.
Nami (telur kepiting dapat
berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga
berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)
2. Peralatan rumah tangga
a. Bowoa
tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
b.
Figa lae - daun pisang yang
dipakai untuk menjadi alas makanan
c.
Halu (alat menumbuk padi) -
dfsf
d.
Lösu - lesung
e.
Gala - dari kayu seperti talam
f.
Sole mbanio - tempat minum dari
tempurung
g.
Katidi - anyaman dari bambu
h.
Niru (Alat untuk menapik beras
untuk memisahkan dedak)
i.
Haru - sendok nasi
j.
Famofu - alat niup api untuk
memasak
k.
Fogao Banio (alat pemarut
kelapa)
3. Minum Khas
a.
Tuo nifarö (tuak) adalah
minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon
Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias
"Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara
penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3
(tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar
alkohol 43%.
b.
Tuo mbanua / Sataha (minuman
tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang
telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar
alkohol)
E. Amaedola
1.
Hulö harita, olifu ia gulinia
(Bagaikan kacang lupa akan kulitnya) Artinya : Perumpamaan kepada
seseorang yang melupakan asal-usulnya atau yang melupakan seseorang yang telah
berbuat baik kepadanya.
2.
Böi bunu gulö fasalatö (Jangan
membunuh ular setengah-setengah jikalau masih hidup ular itu akan mematokmu
kembali) Artinya: Hendaknya dalam melakukan sesuatu hal harusnya sampai tuntas
agar tidak menjadi bumerang nantinya.
3.
Hulö ni femanga mao, ihene
zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari pinggiran) Artinya:
Dalam melakukan sesuatu hal, di mulai dengan hal yang mudah ke yang sulit.
4.
Hulö la'ewa nidanö ba ifuli
fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu kembali) Artinya:
Sesuatu yang tidak bisa untuk di pisahkan.
5.
Abakha zokho safuria moroi ba
zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang pertama) Artinya:
Sesuatu tindakan akan sangat terasa pada akhirnya.
F. Akses ke Nias
1. Udara
Jarak
tempuh menuju Kepulauan Nias berkisar 45 menit dari Bandar Udara Internasional
Kualanamu (Medan) - Bandar Udara Binaka
(Nias)
dengan harga tiket antara Rp 600an s/d Rp Jutaan
2. Darat
a. Dari
Kota Medan
menuju Kota Sibolga
berkisar 10 jam dengan mengendarai Jasa Angkutan Darat seperti Taxi, Mini Bus
dll harga tiket sekitar Rp 120.000
b. Dari
Kota Medan
menuju Kota Pelabuhan Aceh
Singkil berkisar 8 jam dengan mengendarai Jasa
Angkutan Darat seperti Taxi, Mini Bus dll harga tiket sekitar Rp 120.000
3. Laut
a. Sesampainya
di Pelabuhan Sibolga,
perjalanan laut menuju Pelabuhan Gunungsitoli
dapat memakan waktu 10 jam dengan menggunakan Kapal Penyeberangan dengan harga
tiket sekitar Rp 80.000 s/d Rp 130.00. Kapal ini beroperasi setiap hari dengan
jadwal keberangkatan Malam dan sampai di Gunungsitoli pagi hari.
b. Dari
Pelabuhan Aceh Singkil dapat menyeberang dengan menggunakan kapal penumpang
yang beroperasi 2 kali seminggu yaitu hari Selasa dan Kamis.
G. Mata
Budaya Nias
6.
Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
Dalam
budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang
termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia
“semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna:
memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih
Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian,
tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian,
berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang
lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan
orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak
terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi
makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam
damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan
untuk pengembangan hidup bersama.
H. Letak
Geografi Pulau Nias
Nias
|
|
![]() |
|
Geografi
|
|
Lokasi
|
|
Koordinat
|
|
Luas
|
4.771
km²
|
Negara
|
|
Indonesia
|
|
Provinsi
|
|
Kabupaten
|
Nias
(bahasa Nias Tano
Niha) adalah sebuah pulau
yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera,
Indonesia. Pulau
ini dihuni oleh mayoritas suku
Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya
megalitik. Daerah ini merupakan objek wisata penting seperti selancar
(surfing), rumah tradisional, penyelaman, fahombo
(lompat batu).
Pulau dengan luas wilayah
5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa.
Agama mayoritas daerah ini
adalah Kristen Protestan. Nias
saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten
Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan
Kota Gunungsitoli.
I. Gempa dan Tsunami 2004 dan
2005
Pada 26 Desember 2004, gempa bumi Samudra Hindia 2004
terjadi di wilayah pantai barat pulau ini sehingga memunculkan tsunami setinggi
10 meter di daerah Sirombu dan Mandrehe. Korban jiwa akibat insiden ini
berjumlah 122 jiwa dan ratusan keluarga kehilangan rumah.
Pada 28 Maret 2005, pulau ini kembali
diguncang gempa bumi, tadinya diyakini sebagai
gempa susulan setelah insiden Desember 2004, namun kini peristiwa tersebut
merupakan gempa bumi terkuat kedua
di dunia sejak 1965.
Sedikitnya 638 orang dilaporkan tewas, serta ratusan bangunan hancur.
Hampir tidak ada bangunan perumahan rakyat
di seluruh Pulau Nias yang tidak mengalami kerusakan, akibat gempa itu.
Menurut Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(BRR) Perwakilan Nias, bencana telah menyebabkan 13.000 rumah rusak total,
24.000 rumah rusak berat, dan sekitar 34.000 rumah rusak ringan. Sebanyak 12
pelabuhan dan dermaga hancur, 403 jembatan rusak dan 800 km jalan
kabupaten dan 266 km jalan provinsi hancur. Sebanyak 723 sekolah dan 1.938
tempat ibadah rusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar